Pesona Kampung Suku Sasak SADE, Lombok
REP | 23 September 2012 | 11:33 Dibaca: 791 Komentar: 6 Nihil
Melancong ke Pulau Lombok, rasanya belum lengkap
kalau belum mengunjungi Kampung Suku Sasak “SADE” di Pulau Lombok.
Kampung Sade merupakan salah satu kampung yang masih menjaga tradisi
Suku Sasak hingga sekarang. Dari sisi bangunan rumah, adat istiadat, dan
budaya hingga sekarang, masih terjaga. Kampung Sade terletak di Desa
Rimbitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Adanya Bandara Internasional Lombok Praya, yang
baru diresmikan akhir 2011 juga menjadi berkah tersendiri bagi warga
Kampung Sade. Dari bandara baru ini, jaraknya hanya sekitar 10 km, atau
perjalanan sekitar 15 menit. Hal ini tentu saja memudahkan bagi para
wisatawan untuk langsung membelokkan kendaraannya begitu sampai ke Pulau
Lombok.
Perjalanan dari Bandara ke Kampung Sade melewati
jalanan beraspal yang berkelok kecil. Di sekitar kanan dan kiri jalan
terdapat lahan pertanian yang luas. Saat saya datang dan mampir
berkunjung, lahan pertanian ini kebanyakan sedang ditanam jagung.
Sesekali, kami berpapasan dengan mobil bak terbuka
yang mengangkut daun-daun kering seperti jerami. Saya pikir itu jerami
padi yang dikeringkan. Ternyata bukan, itu adalah alang-alang yang
dikeringkan untuk dijadikan atap rumah adat, ataupun atap rumah-rumah
yang ada di Bali. Ya, alang-alang itu ternyata menunggu pembeli dari
Bali untuk dijadikan atap villa, hotel, ataupun rumah makan yang berciri
tradisional. Atap-atap tradisional yang ada di Bali memang banyak yang
berasal dari Lombok.
Akhirnya, sampai juga kami ke Kampung Sade. Di
pintu masuk, terdapat semacam gapura besar yang menandakan bahwa kita
memasuki kampung dengan suasana tradisional. Tersedia lahan parkir yang
cukup luas, yang muat untuk berbagai kendaraan, termasuk bis wisata. Di
sekitar tempat parkir terdapat banyak warung penjaja makanan.
Salah seorang tour guide lokal
langsung menyambut kedatangan kami. Tanpa basa-basi, dia langsung
nyerocos mengucapkan selamat datang kepada kami, dan memberikan
penjelasan singkat tentang Kampung Sade. Kampung Sade ini terdiri dari
150 rumah dengan 700 orang jiwa. Mereka masih mempertahankan tradisi
hingga sekarang.
Suku Sasak adalah suku asli Pulau Lombok. Selain
Kampung Sade, sebenarnya ada tiga desa yang masih mempertahankan budaya
Suku Sasak, yaitu di Desa Bayan, Sade, dan Rambiten. Namun demikian,
yang paling banyak dikunjungi wisatawan ya Desa Sade dan Rambiten yang
memang relatif lebih dekat dari Mataram.
Mata pencaharian kaum pria Sasak di Kampung Sade
kebanyakan adalah petani. Dengan menjadi desa wisata, sebagian kemudian
berprofesi sebagai tour guide. Sedangkan para wanita banyak yang pintar
memintal kain tenun sasak. Dan dengan adanya wisatawan yang banyak
berkunjung, hampir setiap rumah di Kampung Sade menjajakan oleh-oleh
khas Lombok mulai dari tenun, kaos, gantungan kunci, patung, dan
berbagai pernak-pernik kecil khas Lombok.
Saluran air tersedia melalui sumur-sumur
tradisional. Rumah-rumah dibangun dengan bahan-bahan alam yang terdapat
di sekitar kampung. Salah satu bangunan yang menonjol yang menjadi ikon
di sini adalah bangunan lumbung padi yang sangat khas. Lumbung padi ini
dibuat untuk menampung hasil panen dari para penduduk kampung. Dengan
adanya lumbung padi yang dikelola bersama ini, tidak ada kekhawatiran
kelaparan.
Di tengah-tengah kampung Sade terdapat masjid yang
bangunannya juga tradisional. Seluruh warga suku Sasak memang beragama
Islam. Namun demikian, pengaruh Hindu Budha dan animisme di beberapa
tempat dan bagian memang masih terlihat karena pertemuan budaya dengan
Bali pada zaman dahulu.
Banyak barang oleh-oleh yang bisa dibawa dari
Kampung Sade ini. Yang paling khas tentu saja adalah kain tenun Lombok.
Kain tenun ini bisa dibuat kain, kebaya, sarung ataupun
baju batik. Untuk selembar kain tenun yang asli harganya sekitar Rp
250-350 ribu. Cukup mahal, karena memang proses pembuatannya yang rumit.
Mulai dari memintal kapas, memberi warna, dan menenun butuh waktu mulai
dari 1 minggu hingga 1 bulan, tergantung tingkat kerumitan kain.
Ada juga tenun taplak meja atau sajadah, ataupun
selendang. Harganya sekitar Rp 40.000-60.000 ukuran kecil. Cocok buat
oleh-oleh. Saya memesan kain yang ada tulisan “Man Jadda Wajada”, tapi
orangnya mikir-mikir, kelihatannya tidak mudah membuat desain baru
selain yang sudah ada sebelumnya.
Banyak juga pernak-pernik kecil, semacam
patung-patung, gelang, dan gantungan kunci. Saya tertarik membeli
gantungan kunci seharga Rp 15.000, yang terbuat dari tanduk kerbau. Ada
motif lumbung padi, bunga, dan banyak motif lain. Saya membeli motif
cicak, katanya ini lambang keberuntungan. Amin.
Tidak terasa, 30 menit perjalanan keliling kampung
akhirnya kami kembali lagi ke pintu depan. Saya melihat wisatawan
sebenarnya bisa diberikan “pengalaman” yang lebih seru dalam
melihat-lihat budaya Sasak ini. “Pengalaman” inilah yang kurang
dieksplorasi secara maksimal. Jika sekadar membeli oleh-oleh, maka
kesannya tidak terlalu mendalam.
Yang terpikir oleh saya misalnya, bikin program “2
Jam bersama Suku Sasak”. Programnya bisa macam-macam, mulai dari melihat
tari-tarian, belajar menenun, belajar tari tradisional, melihat video
sejarah Sasak, memperkenalkan banyak budaya yang “aneh”, semacam
“nyongkol”; menculik anak gadis orang sebelum dinikahkan (menculiknya
beneran, tanpa ngasih tahu dulu orang tua si gadis), dan berbagai
pengalaman lain yang membuat para pengunjung mendapatkan pengalaman yang
lebih berbeda, lebih misterius, dan menyenangkan.
Toh, melihat kehidupan mereka sehari-hari
secara natural juga membuat semangat hidup saya kembali bergairah.
Melihat orang-orang tua yang menjaja barang-barang, ibu-ibu yang
menenun, memompa semangat saya untuk terus giat bekerja. Dan tidak ada
anak-anak yang meminta-minta, sesuatu yang sekarang ini sudah menjadi
jamak di berbagai tempat wisata.
Jadi, sudahkah Anda ke Kampung Sasak? Apa kesan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar